Pesan Kasih Sayang
Hujan
terus mengguyur kota ini sejak pagi. Seakan setia pada awan hitam yang kian mencekam.
Tak habis pikir, orang-orang di sana masih berlalu lalang menerobos hujan. Ada
yang bergegas dengan mantel polkadot vanila, ada yang menggunakan payung lebar
aneka warna, ada pula yang berjalan cepat dan membiarkan hujan membuat basah
seenaknya. Aneh, sekumpulan orang di seberang sana malah dengan sengaja menari
di bawah hujan, seakan kebal dengan virus influenza.
Ya,
selalu ku sempatkan duduk di sini memandangi jendela. Hari ini, semangkuk ronde
hangat menemaniku menunggu senja. Walaupun sebenarnya aku telah tahu senja tak
akan tiba. Hujan telah menelan senja, mengubah mega mejadi pekat. Senja-ku
sudah tak teraba. Sangat nyaman berada di sini sejenak, sekedar bernostalgia
dengan jaman. Hiruk pikuk perjalanan telah ku hadapi dengan senyuman,
implementasi sederhana dari indahnya ajaran kasih sayang. Pencipta telah
memberikan torehan sejarah dalam hati setiap umat manusia. Sebagai wujud rasa
syukur kepada pencipta, aku selalu bernostalgia di waktu senja.
Manusia,
makhluk sosial dimana ia tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Namun pada
akhirnya, aku akan berkelana sendirian. Pencipta telah menghantarkanku pada dua
puluh empat tahun tiga bulan dan lima hari terbaik bersama orang-orang yang
berlalu lalang. Di tempat inilah aku buka kembali kenangan bersama mereka yang
pernah ada di dalam perjalanan. Hanya dengan cara ini aku dapat berdamai dengan
rindu, rasa yang terus menarikku kian sendu dengan waktu.
Tempat
ini pertama kali ku kunjungi bersama bapak di tahun 1996. Tahun terberat dalam
hidupku dan bapak. Mama meninggalkan kami untuk menghadap sang pencipta. “Tempat
ini, bapak dan mamamu kencan untuk pertama kali. Tempatnya masih sama persis.” Kata
bapak sambil memandang ke luar jendela yang kini sudah berwarna jingga. Selalu
beliau bawakan wedang jahe ketika musim hujan dan es oyen ketika kemarau. Di sini
juga beliau memperkenalkanku pada senja. Senja yang membuat tangisku berhenti
seketika, dan selalu begitu. Cahaya jingga yang menembus batas jendela
membuatku merasa tenang, seakan pencipta mentransfer malaikat baik untuk
memelukku. Akhir pekan, bapak selalu bercerita banyak kisah hingga cahaya senja
berubah gelap dan lampu-lampu jalan dinyalakan. Mungkin lima belas menit atau
lebih beberapa detik untuk saling bercerita. Selepas itu, kami kembali ke dalam
peran yang bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing.
Kini,
aku kembali ke kota ini. Sebuah keputusan agar bisa datang ke makam bapak dan
mama tiap waktu. Buah kasih sayang yang harus mereka tuai dari ku, semata
wayang. Sebenarnya, baru dua bulan ini aku rutin berkunjung setelah beberapa
tahun menikmati senja seadanya. Kegiatan studi telah menjauhkan ku dari tempat
ini dan juga bapak sampai akhir hidupnya. Memang sekolah asrama dan universitas
yang dipilih bapak jauh dari rumah, di luar kota. Banyak sekali tugas dan
sedikit kegiatan organisasi yang harus ku urus sehingga waktu libur kadang
tersita. Walaupun begitu, senja masih dengan baik ku nikmati.
Menjadi
seorang konselor sangatlah membosankan. Baru terasa saat ku sentuh dunia kerja.
Banyak pasien dengan banyak macam persoalan psikis yang tak teraba
keberadaannya saat aku duduk di bangku universitas. Namun, pekerjaan itu adalah
cita-cita pertama yang aku sampaikan kepada bapak sehingga bapak bekerja lebih
keras dan menjadi makin sibuk (baru ku sadari setahun ini). Tabungan bapak
ternyata sangat cukup menghidupiku sampai saat ini, tiga tahun tanpa beliau. Dengan
sisa minat dan aku yakin juga doa dari bapak, akhirnya gelar itu dapat ku raih
di hari ke empat puluh bapak pergi. Sesuatu yang semoga cukup membuatnya
bangga, terima kasih bapak.
Pasien
terakhir tadi berusia 45 tahun. Beliau sudah lima kali mencoba mengakhiri garis
takdir, beruntung semuanya gagal. Ibu itu dibawa oleh seseorang yang simpati ke
tempat ku bekerja. Mukanya muram, kedua mata yang sembab, dan ada bekas luka
yang ditutup dengan perban di pergelangan tangan kiri. Aku menelaah emosinya
yang terberai. Karena berbeda keyakinan denganku, aku tidak bisa memberikan dalil
dalam kitab yang selalu ku bawa. Ku berikan segelas air putih dan mengajaknya
ngobrol santai. Aku masih menatap kekosongan di raut wajahnya. Berdasarkan
informasi yang ku dapat, anak semata wayangnya meninggal setahun yang lalu
karena kecelakaan. Hidup sebatang kara, beliau menjadi depresi. Namun
keterangan tersebut belum akurat, keterangan dari sang ibu masih aku harapkan.
“Mbak, saya juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini..” Beliau menjawab pelan.
Aku melanjutkan pembicaraan, “Ibu bisa menceritakan bagaimana hubungan ibu dan
almarhum anak ibu jika tidak keberatan. Saya akan sangat senang bila ibu
berbagi cerita.” “Hmm..Aryo (menghela nafas panjang), anak yang baik mbak!
Walaupun masih sekolah, dia suka kasih saya uang. Kami hidup cuma berdua, dan dia
satu-satunya yang saya punya. Namun setelah ada kabar dia balapan dan mati,
saya rasa saya pun juga sudah mati..” “Bu, apa saya boleh tahu bagaimana saat
ibu menggendong Aryo kecil untuk menidurkannya? Ibu masih ingat?” Aku membawa
diri untuk hanyut ke dalam cerita yang beliau haturkan tanpa memaksanya untuk
menerangkan detail. “Ya saya lakukan seperti cara semua ibu menidurkan anaknya.
Digendong seperti ini (diperagakan) lalu saya nyanyikan lagu tidur. Lagunya
beda-beda tergantung saya ingatnya yang mana. Setelah dia tidur, saya taruh di
kasur, saya usap kepalanya lalu menciumnya.” “Bagaimana perasaan ibu waktu
itu?” “Ya saya senang, sayang banget sama dia. Saya harap dia bisa besar dan
sehat. Sejak bapaknya lari dengan wanita itu, saya sudah tidak berpikir apa-apa
lagi, hanya Aryo.” Ku pahami posisinya sebagai perempuan. “Ibu masih memiliki
kerabat?” “Ibu saya masih ada, namun sudah ndak nganggap saya anak karena saya
sudah salah.” Nah, akhirnya jawaban ditemukan berdasarkan rabaan pemahamanku terhadap
apa yang ibu paparkan. “Neneknya Aryo pasti juga merasakan kesendirian yang ibu
rasakan kini. Setiap orang akan menggapai bintangnya masing-masing dan menjadi
dewasa, menikah, punya anak, menemani anak itu tumbuh besar dan berkembang, terakhir
membiarkannya pergi untuk membangun keluarga yang berarti membiarkan
kesendirian hinggap di jiwa sambil menunggu datang waktunya, akan begitu
seterusnya. Setelah kesendirian terasa, sangat wajar jika seorang ibu
merindukan kebersamaan itu lagi, anaknya yang dulu dalam gendongan. Saya ada di
posisi ibu saat ini, saya punya Tuhan dan masih ada ibu. Saya akan datang pada
Tuhan, meminta pertolongan. Lalu saya akan datang ke ibu, meminta maaf dan berterima
kasih. Hal yang belum pernah saya lakukan. Menemani masa tua sehingga beliau
dan ibu tidak kesepian. Membahas masa kecil dimana ibu belum bisa merawat diri
sendiri. Itulah kenangan yang indah bagi setiap ibu, merawat bayi mungilnya.”
Penjelasan panjang lebar. Ku harap beliau mengerti maksudnya. “Apa saya bisa minta
tolong mbak untuk menemani saya?” Aku tersenyum.
Ku
lihat ibu itu sangat fokus berdoa. Aku memintanya untuk menyuarakan saja isi
doanya dengan lisan karena di sana hanya ada aku, beliau, dan patung salib yang
tergantung di depan mimbar, caraku menyebutnya. Aku sama sekali tidak tahu adab
berdoa dalam keyakinan beliau. Aku hanya fokus pada doanya dan kesembuhan
pasienku. “Tuhan, terima kasih telah menerimaku datang. Ku mohon bantulah aku,
bersihkanlah hatiku, kuatkan aku. Jaga anakku yang kini ada di sisimu. Tolong
katakan pada-Nya aku sangat merindukannya, aku akan berusaha untuk pulih..” Kekuatan
Tuhan memang dahsyat. Walaupun banyak cara orang menyembah dan berdoa, salah
atau benar, pencipta tetap setia kepada ciptaan-Nya.
Besok
akan ku cek bagaimana keadaannya setelah hari pertama penyembuhan dilalui
dengan kehendak pencipta. Beliau adalah satu dari ratusan pasienku yang
menderita akibat kehilangan orang-orang tersayang yang pernah mengukir kenangan
indah. Mereka tidak tahu teknik menguasai rasa rindu. Sehingga rindu menjelma
menjadi petaka bagi hidupnya. Kasus
seperti inilah yang suka mengingatkan ku pada bapak, yang paling ku sayang
setelah mama pergi. Pasti merasa sangat kesepian saat ku tinggal sendirian.
Bapak tak pernah terlihat lemah dan sakit. Dia selalu kuat. Bangun di pagi buta
dan tidur larut malam. Bahkan selalu begadang jika aku sedang sakit. Terakhir
aku berbincang padanya di telepon karena skype bapak tidak aktif. Suara bapak
sangat teduh, “Nak, bapak selalu sayang dan berdoa terus untuk kamu. Kamu fokus
belajar di situ yaa, jangan pikirkan bapak sampai nilai mu turun. Disini bapak
sehat, bapak mau lihat kamu pakai toga..” Bodohnya aku hanya menjawab iya.
Bahkan bukan terima kasih atau maaf, kata yang tak pernah ku ucapkan untuk
bapak. Tante Dewi cerita, bapak makin kurus dan pucat. Makanya, tidak menerima
panggilan skype dari ku. Aku rindu. Bapak sekarang mungkin lebih segar dan
sehat, apa di sana sudah ada skype?
Seseorang
menepuk pundakku, “Sahabat pasti tidak akan meninggalkan mu!” katanya menebak. “Sahabat
juga bisa meninggalkan mu..” jawabku sangat yakin. Bahkan sahabatku yang dulu
selalu mengatakan tidak meninggalkan, sekarang hidup bahagia tanpa kabar di
Lombok bersama kekasihnya. Mantan kekasihku. “Susah sekali mencari jawabannya.
Lalu kita sendiri apa?” “Mungkin nantinya kamu juga akan meninggalkanku”
jawabku ringan. “Kamu juga..” “Kamu!” “Kamu lah!!” “Sudahlah, jangan alay.”
ledekku, dan kami tertawa. Dia selalu saja datang untuk mengganggu ku menikmati
senja. Sangat setia sampai saat ini, sampai aku terbiasa. Karena muak dengan
tingkah usilnya, aku memberinya pertanyaan. Sehari hanya boleh menyebut satu
jawaban. Jika ia berhasil dengan benar, maka ia boleh terus mengganggu ku.
Namun jika gagal, aku akan aman. Hari ini syukur, dia salah lagi. Memang
sebagai anak teknik, mungkin jawaban benar masih jauh dari hatinya.“Eh baca ini
deh..” Dia menyodorkan selembar kertas HVS tanpa judul, tulisan yang besar dan
rapi.
Aku
tak tahu bagaimana senja akan bermuara
Akankah
dengan tangis atau tawa
Aku
tak tahu cara senja melewati harinya
Akankah
suka atau duka
Menahan
derita
Atau
menjadi bahagia
Tanpa
derai air mata
Bahkan
aku tak tahu
Apa
besok masih senja?
|
(bagian belakang, ditulis di bawah)
Jika
iya ku temani kau menuju cahaya
Jika
tidak ku ingin kau mengetahuinya
Bahwa
rasaku adalah nyata
Tanpa
jeda
Aku
harus mengungkapkannya
-Ridwan
Abrar Prasetya-
Untuk
: Fans Fanatik Senja
|
“Bagus gak puisi gue?” tanya laki-laki
pengganggu itu. “Iyaa” jawabku singkat.
“Kok iya doang
sih”
“Lah terus apa?”
“Gamau bales?”
“Bales apa?”
tanyaku terkesan cuek.
“Gue nggak tahu
apa yang bakal terjadi besok, jadi gue mau bilang kalo aku sayang kamu, mau
menemanimu hari ini sampai kita saling meninggalkan nanti. Aku tidak tahu
berapa lama lagi waktu, jadi apa kamu mau mencoba berjalan denganku dalam
pernikahan? Ada baiknya buat lo jawab sebelum lo menyesal!” akhir yang sedikit
mengancam membuatku tertawa. “Sebelum aku kehilanganmu juga, aku katakan aku
menyayangimu..” ucapku dalam hati. Hujan yang menelan senja-ku telah berlalu,
aku bergegas meninggalkan tempat itu.
“Bisa
saja nanti hujan, senja tak datang. Kalaupun datang, rasanya akan sama seperti
senja yang kemarin. Kamu tak bosan?” Ku maklumi kreativitasnya dalam berprasangka.
Ingin sekali menjawab celotehannya yang sok puitis itu saat pertama kali
mengganggu. Sebenarnya bukan untuk senja, saat
senja datang aku menitipkan pesan kepada cahaya jingga yang hendak hilang
tentang pesan rindu yang mendalam. Bila senja tidak datang, aku tetap bernostalgia
dengan hujan. Datang maupun tidak aku tetap disini, menunggu waktu berdoa kepada
pencipta untuk menyampaikan salam yang tak sempat terucap saat mereka yang ku
rindukan masih ada dalam dekapan, sebuah pesan kasih sayang.
***
Seorang
ayah dan putri kecilnya duduk di meja nomor 10 dekat jendela kayu nuansa
klasik. Sejak tadi sang ayah berusaha menghentikan tangis anaknya itu dengan
berbagai cara. Akhirnya anak itu tenang setelah cahaya senja menembus jendela
mengenai tangannya. “Pesan yang kita titipkan ke matahari tidak begitu saja
sampai. Ada banyak pesan yang dititipkan orang-orang ke matahari. Matahari bisa
saja lupa dan pesannya tak sampai.” Kata sang bapak. “Lalu gimana biar bisa sampai?”
tanya putri kecil dengan rasa penasaran. “Kla, kamu lihat masjid yang ada di
sana? (sambil menunjuk ke luar jendela) kita harus kesana setelah senja
tenggelam. Kamu tahu kenapa? Karena semuanya nanti akan meninggalkanmu seperti
mama, tas kesayanganmu juga nanti bisa rusak, pohon itu akan ditebang, kucing
kamu akan mati ketika tua, dan semuanya akan begitu. Tapi ada satu yang tak
akan meninggalkan mu, selalu setia menemanimu dan mengabulkan doamu. Kamu bisa
berdoa kepada-Nya supaya matahari tidak lupa.” “Wah pak, aku ingin bertemu
sekarang.” “Oke, tapi kamu juga tidak boleh meninggalkan-Nya walaupun kelak
kamu akan tahu bahwa Dia akan selalu ada untukmu.” “Oh.. kalau begitu siapa dia
pak?” tanya putri kecil yang memeluk boneka beruang. Segera sang ayah menjawab “Dia
Maha Segalanya, Dia itu Pencipta.”
Comments
Post a Comment