CERITA LAMA



SUDAH
Kami pernah dekat
Aku seperti lem perekat
Menempel sangat kuat
Hubungan yang erat
Terikat ketat
Pasti tiba suatu saat
Kami saling menghujat
Lalu memaafkan tanpa syarat
Seperti malaikat
Atau makin melaknat
Warna makin pekat
Selesaikan semua mandat
Mungkin akan kiamat
Seperti ayat dalam surat
Menelan kami hingga tamat
Dalam rintihan mayat
Sungguh penat
Tak pernah istirahat
Menduga tanpa sekat
Sayang itu lebih, wahai sahabat
Cinta, implikasi sebuah kasih sayang yang sering disalah artikan sebagai pendobrak nafsu belaka. Opini lebih suka menyebut kata sayang menggantikan cinta. Kata kerja menyayangi dianggap lebih baik dan terhormat. Sayang atau cinta, apapun itu rasanya adalah sama. Menjadi egois dari biasanya, menjadi emosional dari biasanya, dan logika menjadi tak berguna. Sayang maupun cinta, keduanya memang sudah gila.
Syukur, aku masih belum gila. Namun semoga tidak menular pada pembaca. Karena sebenarnya ini hanyalah kisah nostalgia. Selalu ampuh menjadi alternatif-ku dalam mengobati insomnia dan sejenisnya. Malam ini dingin, bekas hujan. Seperti malam pengangguran lainnya, aku selalu insomnia. Karena tak ingin mengganggu kesibukan mereka semua, ku putuskan untuk duduk di depan meja. Secangkir teh tarik ada di atasnya, di samping notebook yang sedang ku buka.
Ini kisah nostalgia nomor 1523 yang ku simpan dalam folder khusus tersembunyi di dalam drive e-mail pribadi. Pagi tadi aku hampir saja ditabrak oleh siswi SMP yang sedang balap sepeda dengan temannya, musuhnya, atau pacarnya. Aku ragu. Yang aku yakin mereka sedang bertaruh sesuatu. Sepeda itu berwarna pink cerah dengan keranjang besi di depannya. Siswi tersebut terlihat sangat rapi walaupun terburu-buru berlalu setelah meminta maaf. Laki-laki yang mengejarnya menggunakan sepeda gunung. Seragam yang sama persis lengkap dengan tas punggung, rapi juga. Mereka berlalu, aku meneriaki nya “Hati-Hati, dek!”
Jalan terasa panjang walaupun setiap pagi selalu ku lewati. Berjalan kaki adalah hobi ku di pagi itu, biar bagaimanapun sebenarnya tarif parkir jaman ini cukup memboroskan bagi ibu-ibu. Bahkan aku bukanlah satu-satunya yang berjalan kaki ke pasar, hitung-hitung olahraga. Dua anak tadi mengingatkan ku pada sebuah kisah di masa lalu, milikku.

Panggil saja dia Sipit. Mengetahui sajak bait rangkaian huruf di akte kelahirannya bukanlah sebuah kewajiban dan tak akan berpengaruh apaapun terhadap jalan cerita ini, apalagi terhadap jalan hidupmu. Dulu belum terkenal kata “bully” sehingga saat itu yang ku alami adalah “bolo-boloan (geng/kelompok bermain)”. Sebagai anak perempuan, aku bukanlah sosok yang cemerlang dan menawan. Selalu dijauhi teman-teman perempuan yang lain dan tidak pernah bermain sehingga sering merasa ingin pindah sekolah. Aku hanya memiliki dua teman, satu laki-laki dan satu perempuan tomboy. Laki-laki itu adalah Sipit dan perempuan tomboy adalah sahabat erat hingga kini. Mereka lah yang menjadi hiburan di waktu istirahat. Terkadang kami selalu bercanda, kejar-kejaran, belajar, diskusi, dan makan bekal bareng. Sipit bukanlah anti-sosial seperti ku dan sahabat tomboy ku sehingga dia berhubungan baik dengan banyak teman juga. Beberapa hal kemudian terjadi, aku dan Sipit seperti sudah dekat. Beberapa kali ibuku dan ibunya bertemu, ngobrol bersama ibu-ibu lainnya sambil menunggu kami pulang sekolah. Rumahnya lumayan jauh dari sekolah, rumahku dekat juga.
Aku dan Sipit suka sekali main kejar-kejaran. Sebagai yang terkenal agresif, aku adalah yang suka mengejarnya. Sipit kecil dulu tampan, putih, dan pintar sehingga banyak teman perempuan yang suka melihatku dengan tatapan sinis. Ada saja sebab yang melatarbelakangi proses saling mengejar, tentunya menghabiskan banyak tenaga. Pernah suatu hari kami ngobrol di ruang kelas waktu istirahat. Aku mengganggu dia yang lagi meneruskan tugas menggambar. Tempat duduk suka diputar sehingga moment itu sebenarnya jarang terjadi, aku duduk di depannya. Perdebatan panjang menghasilkan sebuah keputusan Sipit untuk memanggilku sebagai “Oneng” dalam sitkom jaman dulu “Bajaj Bajuri”. Aku pun mengejarnya, tak terima panggilan itu disebut.
Banyak hal terjadi beberapa tahun kemudian. Aku menjadi banyak teman sampai bingung harus bergabung di dalam bolo yang mana. Hal itu membuatku memilih menjadi netral tak memihak siapapun. Sipit tetap Sipit, suka pamer dan ngeledek. Peringatan ulang tahun Indonesia, semua mengikuti lomba mewarnai. Lomba mewarnai dilakukan di kelas masing-masing dan mengambil waktu pelajaran. Aku duduk di belakang, cukup strategis dan leluasa untuk mewarnai. Tiba-tiba, Sipit duduk di depanku dan menoleh menyapa. Entah bertukar kursi dengan teman atau memang itu bangkunya sejak pagi. Selalu saja seru ketika dekat dengan dia, walaupun selalu menyebalkan. Sipit bilang pasti aku kalah. Warna yang ku torehkan katanya tidak logis. “Masa’ rambut orang warna abu-abu. Harusnya kan hitam.” Komentarnya selalu begitu, walaupun sebenarnya presepsi dia adalah yang paling mendekati logis. Lucunya, namaku disebut menjadi juara III dalam lomba mewarnai itu. Hal yang membanggakan, bisa menang melawan presepsi logisnya.
Walaupun aku selalu di peringkat lebih atas darinya, aku merasa bahwa Sipit terlalu pintar. Pengetahuan umumnya selalu membuatku terkesan. Namun karena kedudukannya yang cukup pasif di kelas, peringkatnya konstan di angka 5,6, 7, atau 8. Mengagumkannya, Sipit tidak pernah mengikuti les tambahan di luar sekolah. Mungkin pengetahuannya adalah hasil ilham mimpi. Untuk itu, aku bercanda.
Istirahat siang, ibadah berjamaah. tempat wudhu perempuan memang dekat dengan tempat sholat laki-laki. Banyak teman perempuan yang suka dibatalkan wudhu nya sama anak laki-laki. Ya sebagai perempuan sangat riweuh bila harus wudhu berulang kali. Aku pernah tapi tidak sering. Beberapa temanku ada yang wudhu sampai lima kali sekali ibadah. Sangat tidak hemat air. Sipit juga pernah duduk di sana dan berbuat jahil walaupun tidak sering. Selalu ku nantikan dia menyuarakan adzan, namun sejauh ingatanku hanya dua kali. Pertama kali entah kenapa jantungku ikut berdegup kencang walaupun bukan aku yang ditunjuk adzan.
Mungkin nyata itu adalah rasa. Entah kenapa semakin lama semakin terbiasa sehingga tumbuh menjadi rasa yang indah. Tersadar bahwa aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, pada rival terbaikku. Kesadaran itu membuatku berpikir untuk menjauhinya, namun semua sudah terlambat. Aku tidak bisa berhenti. Ingin selalu dekat dengannya adalah satu hal yang ku yakini dan ku usahakan sebagai kebutuhan. Datang ke sekolah sangat mepet dari jam masuk sehingga sepeda ku bisa terparkir dengan leluasa di dekat sepeda merah nya. Dengan begitu ketika pulang, aku atau dia bisa bersama-sama pulang walaupun di ujung pertigaan harus berpisah, aku belok kanan. Membicarakan hal yang penting untuk ukuran usia kami yang masih dasar. Terkadang membuntutinya ke arah pulang hanya karena ingin melihatnya lagi dan lagi.
Dulu sering sekali menjodohkan teman dengan teman lain dan membuat olokan satu kelas. Hal itu juga ku alami dengan seorang teman laki. Bahkan Sipit juga sering menyuarakan olokan itu, seakan ia turut berbahagia. Sebenarnya itu adalah kondisi yang paling tidak menguntungkan bagiku, dulu. Berbeda dengan sekarang yang berkat olokan menjadi kenyataan, dulu jangankan jadian komunikasi saja akan ditanggalkan. Bahkan sampai sekarang, aku dan teman laki itu tidak pernah berkomunikasi selayaknya teman sebaya.
Walaupun gosip berhembus kencang, aku dan Sipit tidak pernah berubah. Sampai dimana seseorang teman perempuan ku datang dengan dalih tugas dan sebagainya. Tanpa ku duga, dia mengatakan bahwa dia suka. Dia sedang menyimpan rasa. Perlahan dia mengatakan namanya, jelas ku dengar sebagai nama lengkap si Sipit. Sebagai anak-anak kecil sok dewasa, aku mencoba tegar mendengarkan setiap keluh kesah penyuka Sipit itu. Sama seperti ku, dia juga terlihat agresif.


Study tour pertama-ku, duduk di belakang Sipit. Awalnya Sipit tidak berniat duduk di depan situ, namun akhirnya bersedia karena rayuan ku dan teman perempuan sebelah. Hal yang sejenak membuatku semakin menyukai nya. Pagi hari masih berjalan normal, dia dan aku sama-sama duduk di dekat jendela. Sampai akhirnya kursi sipit mundur ke belakang dan menyepitku. Siang hari di kota itu sangat terik dan membosankan. Waktu istirahat memang masih berjalan. Aku masih di bus walaupun banyak teman pergi ke luar bus. Aku melihat teman laki yang digosipkan berpacaran dengan ku itu sedang berjalan menggunakan mp3 player. Beberapa teman juga menggunakan barang yang sama. “Eh, itu apa sih? Berapaan?” “Halah yang dibuat radio itu lo, tergantung kalo kecil 15 kalo besar 35. Ciee mau couple-an” Sahut Sipit. Ku putuskan membeli sebagai hiburan, Sipit nitip yang kecil sehingga aku mau yang kecil juga. Karena tidak sabar, begitu masuk bus aku menyalakannya. Tapi hanya ada suara semut di setiap nomor radio. Merasa tak terima aku memiliki akal. Ku tukar mp3 player-ku dengan punya sipit, namun usaha ku diketahui nya. Aku menyuruhnya mengutak atik barangkali dia bisa membetulkannya. Namun dia bilang aku telah dibohongi oleh penjual mp3 player itu. Alhasil kami pun menghitung berapa rupiah keuntungan bapak-bapak penjual mp3 setelah dagangannya ludes oleh siswa studytour dari sekolahku.
Kami juga sempat menggeledah hasil belanjaan masing-masing, dan dia menganggapku suka belanja. Untungnya teman perempuan sebelah berbelanja lebih banyak dariku sehingga mematahkan anggapan itu. Hari makin malam pada perjalanan pulang. Aku meminjam mp3 Sipit dan memainkannya. Dia meminta satu earphone supaya dia bisa mendengarkan juga, untung kabel itu cukup panjang. Ada sebuah lagu yang ku ingat dulu sangat hitz, namun saat itu judulnya pun aku tidak tahu. Ku bertanya pada Sipit dengan harapan sepulang dari sana aku bisa download lagu nya di warnet. Dia menjawab, “Oh iki lagune Ratu! (Oh ini lagunya Ratu)”. Aku mempercayainya. Tak lama sesudah hari itu, aku tahu bahwa itu adalah lagu The Virgin-Cinta Terlarang.

Aku tunggu dia tak datang. Pagi itu kian siang. Dia mungkin ijin karena sakit atau sebuah urusan. Aku punya nomor telpon Sipit, menjarah dari handphone teman. Ku coba mengirim pesan singkat, berharap akan dibalas. Nihil, keesokan harinya dia datang dengan bugar seperti tidak tahu apa isi pesanku semalam. Jam istirahat berbunyi, kantin selalu ada di sana. Perjalanan cukup panjang sehingga aku bersama beberapa teman agar tidak bosan. Entah bagaimana bermulanya pembahasan kami, salah satu teman perempuanku menjelaskan Sipit suka mengirim pesan kepadanya. Hanya sekedar bertanya tugas. Dalam hati aku kesal, kenapa dia tidak membalas pesan itu.

Kerja kelompok perdana dengan Sipit, hanya dua orang yang perempuan. Kerja kelompok hari jumat di rumah ku, yang kedua di rumah teman laki-laki. Hari jumat sepualng sekolah langsung ke rumah. Hanya lima orang termasuk dia dan aku. Karena hari jumat, aku mengaantarkan Sipit dan teman laki-laki yang lain ke masjid terdekat dari rumah. Kesalutan ku bertambah saat Sipit meminjam handphone untuk mengabari ayahnya. Walaupun lahir di Ujung Pandang, kepada ayahanda tetap menggunakan bahasa krama alus. Aku sendiri tak pernah paham dengan bahasa itu hingga kini.

Pagi itu aku bertengkar lagi, sama teman laki. Aku dan dia berebut kursi sehingga kami saling adu argumentasi. Akhirnya dia ngalah, seperti teman laki-laki ku yang lain. Karena waku itu aku punya sahabat laki yang dekat dengan Sipit, sahabat ku itu memberitahu bahwa Sipit tadi judge aku sebagai cewek tempramen. Ya, dulu watakku sangat keras dan kasar sebagai perempuan Jawa. Aku  tak masalah dikatakan demikian, sesuatu yang ku sadari dan pernah ku jelaskan pada catatan ke-512. Menurutku, seseorang akan bergerak tanpa dipaksa mengubah. Sekali lagi waktu memang berkuasa.

Acara bakar-bakar (barbeque versi anak-anak) membuat kami berkumpul di luar sekolah. Ya, ada satu teman perempuan yang memiliki kolam pemancingan di belakang rumahnya sehingga biasa dijadikan basecamp kami saat nganggur. Karena sedang ingin camilan sambil menunggu anak laki-laki mendapat ikan, aku dan teman-teman perempuan pergi membeli camilan. Banyak dari kami meminjam sepeda anak laki-laki yang memang saat itu bagus-bagus. Aku ingin meminjam sepeda Sipit, dengan sigap aku mengarah pada sepeda Sipit, tetapi bersamaan dengan temanku (penyuka Sipit) yang ternyata memiliki keinginan yang sama. Alhasil kami berebut, namun tidak lama karena aku cepat sadar dan tahu malu.

Pagi yang cerah untuk menantikan pengumuman kelulusan. Pagi itu aku datang lebih siang. Semua dinyatakan lulus, peringkat 10 besar dipanggil ke depan. Aku ada di peringkat lima besar, lupa pastinya berapa. Dan saat yang menegangkan bagi mereka yang belum maju ke depan. Peringkat satu akan disebutkan. Semua sangat yakin Vicky lah sang juara seperti biasanya. Aku pun demikian yakin, bahkan enam tahun di kelas A Vicky langganan jadi juara kelas. Nama disebut dengan lantang dan ternyata nama lengkap itu bukan punya Vicky. Nama lengkap itu nama seseorang, dia Sipit. Tak terduga, dia dipanggil ke depan. Mendapat salaman penghargaan dari teman satu angkatan. Dan berakhir mengesankan. Hanya itu saja sisa ingatan sewaktu dulu.

***
Tak menduga bahwa sahabatku itu juga masuk dalam sekolah menengah pertama yang sama. Sanga senang sampai tak peduli kalau kami berada pada kelas reguler yang berbeda, sangat jauh. Berbeda dengan jaman sekolah lalu, kelas di sini hampir 10 kelas dalam satu angkatan. Awalnya aku menduga tak akan lagi dapat merasakan satu kelas dengannya. Wajar, selama 6 tahun aku dengan dia selalu ada di kelas yang sama. Namun sebuah celah membawaku kepadanya. Wali kelas membawa daftar nama untuk tes program kelas unggulan yang baru tahun pertama dibentuk, tahun dimana aku masuk ke sekolah itu. Kagetnya, saat baris tiap kelas unggulan sesuai nomor absen, dia adalah satu nomor di atasku. Dia di depanku. Aku dan dia berada dalam satu program kelas yang sama. Sehingga setiap senin sampai dengan kamis, kami bertemu di jam 14.00-16.00. Dalam bayanganku, pasti akan sangat seru. Bahkan saat menunggu antrian panjang, kami berbincang.

Ikut latihan karate supaya ketemu dia adalah hal terkonyol yang pernah aku lakukan. Setiap hari Minggu pagi datang ke sekolah untuk berlatih karate. Hal itu melelahkan, jujur saja. Tetapi banyak hal yang ku dapat walaupun awalnya aku hanya ingin bertemu dengannya. Karena ini cerita nostalgia tentang Sipit, aku akan meneruskan pengalaman satu tahun berlatih karate di cerita kemudian.
Satu-satunya pesan online saat itu adalah melalui inbox fb. Sehingga kami pernah beberapa kali berbalas pesan di sana, tentunya tidak nyambung dan membuat sakit kepala saja.

Uang fotokopi adalah perdebatan terpanjang dalam kisah pertemanan ku dan dia. Aku ditugaskan untuk fotokopi beberapa lembar kertas formulir tes kyu karate. Aku lupa jumlah uangnya berapa sehingga ku ikhlaskan, termasuk milik Sipit. Namun Sipit bersih kukuh untuk membayar uang tersebut dan memberikan empat buah koin. Aku menolak dan mengembalikannya. Di taruhnya lagi di meja, ku kembalikan dengan segera. Hal yang sama dilakukannya berulang kali hingga seminggu lamanya, sampai di suatu malam posisi uang ada di aku dan berniat mengembalikannya. Malam itu kami masih di sekolah, aku melihat dia di depan sekolah. Akhirnya ku letakkan koin itu di sepedanya. Entah kenapa dia mengejar, kami seperti anak-anak yang bergulat (atau memang nyata). Kami saling tidak mau koin itu menempel di tangan, kami berpegangan tangan dengan koin di dalam nya. Lama sampai merah dan satu teman datang, mencurigai kami sedang berpacaran. Padahal jika tahu apa yang sebenarnya terjadi, mungkin dia akan mendekat ke arah kami, meminta koinnya dan membuangnya ke selokan besar seberang sekolah.
Minggu saat latihan, hal itu masih saja menjadi pembahasan kami. Lagi-lagi koin berakhir di tanganku dan ku taruh di sepedanya untuk yang kesekian kali, berharap dapat piring atau sejenis sovenir lainnya. Dia mengejarku lagi sehingga aku dan sahabat tomboy-ku harus mutar jalan dari ujung ke ujung komplek sekolah. Setelah ku kira aman, aku memutuskan untuk pelan dan mendengarkan cerita teman seperjalananku itu karena kami membawa sepeda. Hal itu akan membuatku lebih nyambung biasanya. “Eh far, kamis libur ta?” aku bertanya untuk memastikan diri. “Iyo, libur!!” lah kok suara cowok? Aku menoleh ke sahabat ku, lalu dengan segera menengok ke belakang, Sipit ada di belakang sambil tersenyum. Bergegaslah aku mengayuh sepeda itu meninggalkan dia jauh di belakang. Jantungku berdetak cepat sekali, hormon adrenaline bertambah. Ibarat jin, dia tak terduga. Kayuhan sepedaku melambat setelah ku rasa aman. Dengan lelah fisik yang teramat sangat, aku ingin cepat pulang. Sesampainya di rumah aku menaikkan sepeda,  “Krincinggg........” seperti koin jatuh. Aku tengok tidak terlihat sehingga aku memarkir sepeda terlebih dahulu. Begitu kulihat, koin itu benar. Kok bisa? Analisa ku menjawab mungkin di taruh di goncengan sepeda sehingga tadi bisa terjatuh.

Cerita ke sahabat cewek tentang rasa. Dia adalah salah satu sahabatku sejak di sekolah lama. Berbeda kelas denganku saat itu, namun dia juga ikut karate. Aku mengatakan sejujurnya dengan orang lain pertama kali adalah dengannya. Lalu baru ke teman-teman di kelas.

Beberapa kali aku meminta tolong ke teman SD untuk mengajariku matematika. Guru mata pelajaran saat itu adalah guru yang paling tidak jelas saat mengajar sehingga aku tidak paham. Satu tahun aku menyerahkan kehidupan matematikaku pada pak Guru itu. Karena itulah nilai ku sering jelek. Aku minta tolong teman yang bersekolah di Surabaya untuk mengajariku. Namun dia merekomendasikan Sipit untuk mengajariku. Jadi aku lobby Sipit, dan dia mau. Akhirnya aku, sahabat cewek, dan teman ku datang ke rumahnya. Kali pertama untukku pergi ke rumahnya. Aku meminjam catatan, kita ngobrol dan becanda dikit. Dia bilang ada ibunya di dalem, dia menawariku untuk bertemu dengan beliau. Namun aku menolak. Sebenernya saat itu aku merasa kurang cantik saja jadi gak siap untuk masuk ke dalam. Lanjut dengan minta keterangan yang aku ga faham, main sama ponakannya. Berpamitan, keponakannya sedang di gendongan Sipit. Dia cantik dan lucu. Dia minta salim ke kami, aku adalah yang terakhir salim dengannya. Ku cium pipi kanannya. Sahabat cewekku yang nyablak malah nyeletuk, “pamannya ga di cium?”. Dasar teman.

Ikut tes kyu kenaikan sabuk adalah tes karate pertama dan satu-satunya yang terjadi dalam hidupku. Latihan rutin membuat jempol kaki kanan ngapal. Pagi-pagi kami semua naik angkot warna hijau, mungkin sekitar dua puluh orang. Supaya sakit ngapal berkurang, aku memutuskan untuk memotog kulit kapalan tersebut. Walaupun sebenarnya ngeri, namun tetap ku lakukan dengan gigih. Sesampainya di lokasi, ternyata masih harus antri lama, kami rata-rata kebagian dinilai sekitar pukul 13.00. Kaki ngapal membuatku malas gerak. I’m stay at bemo. Ditemani satu teman laki sekelas dengan ku di sekolah untuk mengobrol. Tiba-tiba dia datang dan ikut bercakap-cakap sehingga kami bercakap bertiga. “Eh uang fotokopian sudah di kamu ya?” kata dia. “Iya tapi kok bisa gak jatuh yo dari goncengan?” jawabku. “Tak taruh depan rumahmu!” kata dia. Lalu aku sedikit tidak percaya, tapi dia cerita kalau arah rumahku jalan sedang di tutup karena nikahan jadi dia putar arah. Saat itu aku berpikir, pasti lelah  karena pakai sepeda pancal. Tiba-tiba dia keluar angkot, aku tidak curiga karena udara memang sedang panas-panasnya. Beberapa lama kemudian dia datang membawa bungkusan es teh sambil berteriak dalam bahasa jawa. Karena aku adalah awam dan tidak tahu, aku bertanya ada apa. “Itu lo dicari ibukmu” kata dia dengan pelan. “Ha? Gak mungkin masa ibuk kesini” tuturku dengan lugas. “Iyo sak keluarga!” Dia lebih yakin. “Dimana?” tanyaku sambil bergegas keluar. Dia menunjukkan arah ke tempat keluargaku. Aku lihat semua nya ikut menyemangatiku menempuh ujian. Aku terharu.








Hal buruk terjadi. Aku tidak masuk karate karena kesiangan sebenernya, dari pagi lemes dan pening begitu. Tapi aku bilang kepada temen aku sakit dan itu gegara Sipit. Adalah alasan yang tidak logis bukan? Tapi hal itu malah diceritain temenku ke Sipit dan membuat salah faham, mungkin sampai sekarang.

Kelas unggulan tidak seseru yang ku banyangkan. Kami bahkan tidak saling bertegur sapa dan sama sekali tidak berinteraksi. Aku lupa siapa yang awalnya menulis surat, tapi yang jelas sudah lama aku mencari surat itu, namun tidak berhasil menemukannya hingga kini. Aku ingat betul kami berkirim surat sebanyak 3 kali. Dimana surat dari aku adalah yang terakhir dan tidak di balas olehnya lagi. Aku sempat bilang kalau suka dia (berkat nonton sebuah film Thailand), dan dia sudah punya pacar. Hal itu aku ketahui dari salah satu temannya. Dia meminta maaf, tetapi dia sedang tidak membicarakan masalah pacar. Aku pancing dia untuk mengaku, namun sampai aku mengetik tulisan ini, dia tidak merespons.

Beberapa kali aku mengirimkan pesan di fb tentang permintaan maaf, tetapi ga di respon. Dan semenjak itu, kami renggang. Bahkan seperti sudah tidak pernah kenal sebelumnya. Aku memutuskan keluar dari karate, namun untuk kelas unggulan itu tidak bisa. Aku menahan malu bertemu dengannya setiap hari.

Teman-teman kelas suka heboh kalau liat Sipit, bahkan setelah aku menjelaskan bahwa sudah tidak ada harapan. Tetap saja, bahkan pernah suatu saat Sipit berjalan melewati kelasku. Dan kelasku secara kebetulan sedang kosong jadwal sehingga teman-teman terbaikku itu meneriaki nya. Love u guys!

Coba move on gagal terus. Sudah ada pengalih perhatian, si Bonor yang suka sekali menggoda. Tapi nyatanya, itu tidak mengubah perasaan ke Sipit. Malah walaupun pada akhirnya aku di Php in sama Bonor, tidak ada perasaan sedih atau bagaimana. Karena kenyataannya kedekatanku dan Bonor tidak sebanding dengan suka ku ke Sipit.

Pulang sekolah menuju parkiran seperti biasa. Namun, lihat dia sama cewek cantik di depan UKS. Untung saja saat itu, teman-teman dekat ku di kelas fullteam sehingga aku lebih tatak dari perasaan. Sebelumnya juga pernah berpapasan saat lewat lorong sepi belakang kelasnya. Aku lewat situ untuk menghindari kelas dia, tapi malah berpapasan.

Masih suka mandengin dia pas sholat. Sering banget aku dan dia ada di masjid pada waktu yang sama sehingga sering lihatin dia pas lagi pakai sepatu, entah dia merasakan atau tidak. Yang jelas kalau aku jadi dia, aku risih.

Mau nonton senamnya, terhalang insiden si Imam. Ujian praktek olahraga seperti biasanya, kelasku dan kelas Sipit digabung sehingga bisa mencuri pandang walaupun hanya sekilas. Ujian praktek terakhir adalah senam irama dimana kelasku tampil lebih dulu. Kesempatan baik untuk melihatnya senam untuk mengobati lelah ku yang tidak suka mata pelajaran olahraga. Sangat ku tunggu dari penampilan ke satu, kelompok perempuan. Kedua laki-laki, tapi tidak ada dia. Ketiga dan keempat perempuan juga. Satu lagi pasti dia karena sudah tidak ada kelompok lain. Ku nikmati detik-detik terakhir pendinginan kelompok nomor empat bersama teman-teman perempuan sekelas. “As, anterin aku ke UKS po’o” panggilan Imam mengacaukan kosentrasiku yang fokus pada penampilan selanjutnya. Dasar anak laki kalau main suka kebanteran. Aku meminta tenggang waktu biar bisa nikmatin senamnya dulu sampai kelompok terakhir, tapi dia kesakitan dan secara tidak langsung memaksaku untuk mengantarnya. Hikmah nya, jangan terlalu yakin menebak apa yang terjadi lima menit ke depan, bahkan kejutan bisa datang seperlima detik setelah kamu berkedip.
Di dalam uks sangat gundah gulana, sangat sayang melewatkan moment berharga itu. Ternyata pelakunya si Bonor, memang dasar suka bikin ribut. Dia datang untuk minta maaf ke Imam dan ku suruh membelikan es batu. Bonor baik juga, aku bisa melihat dia sebagai seseorang yang luhur, bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat.


Hampir lulus, terakhir ku inbox fb dia untuk minta maaf, dan setelah itu benar benar kami sudah hilang dengan aku yang  hingga kini masih menyimpan rasa malu. Tak terasa, semua itu terjadi tujuh tahun dan aku bercerita dalam sekejap.

Comments