CERPEN



 Namanya Fahrul
Karya : Astria Maulani Rachman/07/XI JB-4
Cahaya matahari mulai redup, jingga dan violet. ombak menggulung-gulung, kebebasan alam berbahasa terlepas dari pelik semuanya. Batu karang besar dan dataran meninggi. Diatasnya, tenanglah segala urusan. Disanalah tempat istirahat paling cocok untuk semua yang sudah lelah. “Rul, bagaimana kabarmu saat ini? Rul Rul apa kau sudah bahagia? Saat bunga ini kujatuhkan, inilah kasihku padamu. Saat bunga ini kujatuhkan, kamu dapat membaca hatiku saat ini. Rul Rul terima kasih kau sudah datang kemarin. Rul 20 bulan 19 hari ini aku masih untukmu, tenanglah Rul aku tidak kemana-mana. Pohon beringin ini masih indah, daunnya masih bersemi dan batangnya masih kokoh. Kamu benar waktu itu, ku fikir pohon ini juga akan menjadi korban mereka. Namun dia masih bisa bertahan. Kamu menang, bunga ini yang paling bagus dan segar kata Nyai jadi aku berikan semuanya untukmu sebagai hadiah. Kau menyukainya? Besok aku akan membelikannya lagi untukmu. Aku menyayangimu lebih dari yang kau tau Rul, aku sangat bangga padamu. Ana, istrimu sangat bangga pada Rul” Suka cita Ana menceritakan satu persatu kisah-kisah yang dilaluinya kepada sebuah batu nisan yang sudah dikeramik.


***
Seorang pegawai rumah makan mengalami kecelakaan di jalan raya depan rumah sakit bersalin. Untunglah, si pemilik rumah makan sangat baik sehingga kecelakaan itu tidak membawa kesakitan yang berkepanjangan bagi pegawai itu. “Kelak, jika aku sudah tidak ada siapa yang mau meneruskannya jika bukan kau?” kata Rul kepada ratunya. Tempatnya mencurahkan segala bentuk pengabdian terhadap cinta, tempatnya mengeluh jika sedang lelah, serta tempatnya bersandar ketika rapuh menggerogoti jiwanya. “Jika aku tidak bisa mengurus semuanya? Rumah makan ini bukanlah warung kecil seperti dulu.” Tanya Ana dengan tegas bermaksud menggoda suaminya yang sedari tadi mengurus pembukuan rumah makan besar. “Kau harus bisa” jawab suami Ana itu dengan lembut.
Tiga belas tahun sudah Ana menemani Rul setiap hari, membuatkan sarapan, menyucikan baju, membereskan pekerjaan rumah, berbelanja, menyetrika, menjahitkan baju Rul, kancingnya, menanam bunga-bunga indah di halaman belakang rumah mereka, semuanya. Mereka menikah di usia muda tanpa restu dari keluarga Rul yang keturunan bangsawan kala itu. Rul bersedia meninggalkan semuanya demi Ana yang seorang anak petani dan bekerja di rumah makan keluarga Rul. Hingga saat ini, kelima anak mereka tiada yang tahu siapa kakek-nenek mereka. Yang mereka tahu mereka punya Mbok (ibu Ana) yang tinggal di daerah Tawangmangu.
Setelah memutuskan lari, Rul sempat berpindah-pindah hunian dan beralih-alih pekerjaan. Awalnya, Rul mendapat pekerjaan  di sebuah pertambangan emas namun tidak lama. Setelah itu ia bekerja sebagai pegawai pabrik bersama tetangga Ana yang sudah merantau terlebih dulu. Namun itu tidak lama karena pabrik itu tutup karena masalah perekonomian yang naik-turun pada masa Orde Baru. Untunglah saat bekerja di pabrik itu, ia sempat menjadi mandor di akhir masa kerjanya sehingga gaji yang ia peroleh cukup banyak. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari sebelum ia mendapat pekerjaan baru. Ia berfikir keras, bagaimana ia bisa bertahan saat usia kehamilan istrinya menginjak bulan ke-8. Ia pernah menjadi tukang kredit peralatan rumah tangga, namun akhirnya gulung tikar karena ibu-ibu itu kabur entah kemana meninggalkan hutang yang belum dibayar dua per tiga jumlahnya. Ia pernah menjadi kuli panggul di sebuah pasar sayur namun akhirnya berhenti karena mendapat tawaran menjaga kios pasar milik Cik Lia. Penghasilannya memang tidak menentu, namun cukup. Sambil menyerap ilmu di pasar, ia mulai berfikir untuk punya usaha sendiri. Bagaimana pun keluarganya adalah wirausaha yang terkenal. Setiap pagi buta, ia selalu datang ke pasar induk untuk membeli sayuran. Setiap pagi juga, di markas depan gang kontrakannya itu selalu ramai orang berjaga. Satpam rumah pemilik perusahaan tekstil, para tentara yang sedang bertugas malam, dan para sopir truk yang sedang mengirim pasokan bahan, pasti di jam itu mereka bingung mencari makanan pengganjal lapar. Setelah membicarakan dengan Ana, ia mulai memberanikan diri membuka warung kecil-kecilan di depan Markas Tentara di daerah Lembang. Sepiring nasi berlauk sambal penyetan seharga lima perak dan teh hangat ia jajakan.
Sehari, dua hari, satu bulan warung itu sangat ramai. Menu juga ditambah, mulai dari sayur sop, ayam, ikan, nasi pecel, tahu tek. Minumnya juga sudah divariasi, ada buah dan krupuk pula. Bahkan pabrik tekstil di sebelah markas tentara itu pun memesan makan siang juga untuk para buruh mereka yang berjumlah lebih dari tujuh ratus dua puluh. Setelah melahirkan, Ana membantu suaminya yang memang diam-diam memiliki bakat memasak itu. Ana juga sangat pintar mengatur keuangan, dalam jangka tujuh bulan mereka bisa membeli sebuah rumah yang cukup dengan pekarangan yang luas.
Dua tahun setelahnya, Rul mendapat tawaran untuk bergabung dengan tentara. “Aku tak ingin kau ikut” istrinya yang kali ini tidak setuju ketika mengetahui Rul akan bergabung. “Aku ingin membela tanah air ini Na, percayalah padaku aku baik-baik saja.” “Lalu bagaimana dengan warung ini?” “Aku akan membantu jika tugasku sudah usai, aku akan membawa mbok kesini untuk menemani mu. Aku juga akan cari beberapa orang pegawai untuk membantumu, Bagaimana?” jelas Rul sambil membantu istrinya memotong daging dan menggoreng tempe tahu.“Aku tidak bisa” “Cobalah, kau pasti bisa” Rul memang keras kepala. Namun Ana adalah seorang istri penurut, ia juga berfikir masalah biaya untuk membesarkan anaknya. Pengabdian kepada Negara memang sangat diperlukan, jiwa Nasionalisme di kala itu memang sangat berkobar namun keluarga juga penting bukan? Entah apa yang ada di benak Rul sehingga memutuskan untuk bergabung.
Lambat laun, warung itu berubah menjadi rumah makan besar di tangan Rul dan Ana serta si Mbok. Dua anaknya juga gemuk-gemuk tanda terurus dengan baik. Rul tetap menjadi anggota tentara yang sibuk membela tanah airnya yang sedang tidak aman.
“Kau ingat bagaimana pertama kali aku meninggalkanmu mengurus warung jelek ini?” Tanya Rul menentramkan suasana rumah yang harmonis usai rumah anak-anaknya terlelap kelelahan bermain.
“Ya, aku sangat ingat bagaimana itu membuatku hampir menyerah. Waktu itu aku ingin mengusir semua pelanggan dan menutup pintu rapat-rapat lalu beranjak tidur.” Jawab Ana sambil menatap akuarium besar di samping kursi tamu.
“Kenapa tidak kamu lakukan?”
“Aku ingat kau mengatakan kalau aku bisa, kata mbok ucapan seorang suami adalah nyata bagi istrinya. Kata-katamu adalah nyata bagiku”
“Itu saja?”
“Tidak, aku melihat Zen sedang terlelap. Aku membayangkan bagaimana kalau warung itu tidak ada, bagaimana Zen bisa tumbuh nantinya”
“Itulah yang aku harapkan dari seorang ibu sepertimu”
“Ya, aku sudah menjadi seorang ibu yang baik bukan? Bagaimana dengan ibu dan bapak yang sejak dulu tidak pernah kita kunjungi? Pasti mereka sibuk mencari kabar dari kita”
“Oh, aku lupa Na, minggu depan aku akan pergi mengamankan perang di pulau seberang.”
“Rul, ku mohon sudah tiga belas tahun! Mungkin sekarang ibu dan bapak sudah setua mbok.”
“Mungkin saja, tolong siapkan pakaian-pakaian dan bekal seperti biasa Na, aku tidak bisa mengurusnya sendiri.” Sambil berjalan menuju halaman belakang
“Tidak, kau tidak boleh pergi sebelum kita menyambangi bapak dan ibu” sambil meraih tangan suami yang sangat dikasihinya itu.
“Aku tidak ingin kita bertengkar”
“Aku juga tidak ingin terus-terusan seperti ini, setiap malam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.”
“Sebenarnya ada apa kau ini? Dulu kau tak pernah seperti ini?”
“Aku mohon Rul, setidaknya biarkan anak-anak mengetahui seperti apa kakek-neneknya!”
“Tidak, untuk apa lagi? Kau sudah disakiti, mbok, bapak, masmu? Semuanya sudah merasakan penderitaan karena mereka, untuk apa lagi?”
“Sudah Rul, tenangkan dirimu dulu. Istrimu benar, sampai kapan kalian akan menjauh? Bagaimana pun mereka sudah membesarkan kamu menjadi anak yang baik dan tampan. Durhaka kepada mereka, berarti menutup pintu rezekimu sendiri Rul. Bagaimana jika anakmu nanti jauh darimu?” Nasehat Mbok sambil membawa sekarung kentang ke ruang tengah untuk dikupas.
Rul terdiam, Ana melepaskan pegangan tangannya dan pergi ke kamar sambil menangis. Entah tiba-tiba malam itu suasana menjadi hening. Sehening itu sampai suara keras jangkrik, katak, dan tokek bersahut-sahutan menggema diseluruh bangunan rumah. Mendung seketika menyelimuti malam yang berbintang.
***
Rabu pon, Rul memboyong Ana dan anak-anaknya ke rumah Ibu dan Bapaknya di Tawangmangu. Mboknya yang menjaga rumah makan besar itu bersama orang kepercayaan keluarga Rul. Sampai disana pagi hari dengan sejuk. Embun dapat terlihat jelas di kaca bus itu. Rumah besar itu sekarang banyak perubahan. Dulu ada pohon beringin kecil, sekarang sudah rindang. Dulu latarnya yang luas ditanami berbagai tanaman indah, namun sekarang seperti lapangan biasa. Atapnya tidak sekokoh dulu dan pintunya juga sudah tua. Namun masih bersih walaupun sarang laba-laba menggantung di atas-atas. Adiknya yang bungsu membuka pintu, terkaget-kaget seperti tidak percaya mas-nya itu pulang. Langsung memanggil bapak yang sedang tidur di dalam. Sambil mengendorkan kaki, menghela nafas, mengeluarkan beberapa buah tangan, mereka mengamati dalam rumah ini. Sudah tidak seramai dulu, perasaan Rul tiba-tiba mengingatkannya pada 17 tahun yang berharga di rumah besar ini. Rasanya bagai perjalanan singkat, untuk pertama kali dalam hidupnya Rul ingin mengulang semuanya.
“Kau menyesal pernah mengenalku?” Tanya Ana, “Tidak, kau adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Semuanya sudah takdir.” Rul menggenggam tangan istrinya dengan erat.
Bapaknya pelan-pelan menapaki jalan keramik menuju ruang tamu. Sudah sepuh rupanya, namun tak ada siapa-siapa lagi. Rul dan istrinya langsung salim, menyuruh anak-anaknya untuk salim pula ke kakek yang belum pernah ditemuinya selama ini. “Pak” kata pertama yang dilontarkan Rul, itupun cukup lama dan dengan mata berkaca-kaca. “Rul, cah bagus. Ini Ana toh? Cucu-cucuku??” “Inggih pak” jawab Ana. “Maafkan bapak dan ibumu gus, sudah lama bapak nunggu kamu datang” kata bapak pelan, lalu batuk-batuk. “Sudahlah pak” kata Rul. “Ibu sudah tiga tahun meninggal mas, di akhir ibu sering nanya kabarmu tapi tidak ada yang tau” sahut adik bungsunya. Air mata Rul tumpah, bagaimana sekarang? Bagaimana bakti ini dilabuhkan jika ibu yang sudah dirindukan bertahun-tahun ternyata tidak disini lagi. Rul memang diam-diam merindukan ibunya akhir-akhir ini. Melihat mbok, ia selalu teringat ibu. “Maaf pak, saya tidak bisa.. lebih awal” kata Rul. “Ndakpapa gus, biar nanti Surti yang antar kamu ke kuburan ibu. Sekarang istirahatlah dulu.” Bapak bersikap lebih dewasa sekarang. Dulu bapak sangat egois dan keras. “Mas Darman pindah di Sleman mas, Mbak Ranti ikut suami di Solo, disini tinggal saya dan Mas Septo” jelas  Surti sambil menyuguhkan teh hangat yang sangat pas untuk cuaca yang dingin. Mereka pun bercerita tentang segala hal. Semuanya terasa lebih tenang daripada dulu.
***
“Bu, ini Rul. Maafkan Rul bu, Rul seharusnya datang dari dulu. Harusnya Rul bisa datang sebelum ini. Bu, Rul ingin berbakti kepada ibu, menjalankan kewajibanku yang dari dulu tak pernah ku lakukan. Maafkan pembangkang ini bu, jika bisa aku ingin menukar semua harta untuk mengembalikan ibu. Sungguh aku ingin ibu aku sangat sayang ibu, kata yang seharusnya dulu aku katakan pada ibu. Terima kasih telah merawatku, membesarkanku setulus hatimu. Bu, sekarang aku sudah punya restoran, Alhamdulillah aku yakin itu pasti karna doa ibu, ibu yang mendoakanku tiap malam. Aku diam-diam memperhatikan mbok  waktu sholat malam. Aku lihat mbok selalu meminta kepada Allah untuk Ana. Aku yakin ibu pun pasti begitu. ”
Rul, menyekar ke kuburan ibunya. Ana, Surti, dan anak-anaknya menunggu di belakang Rul namun agak jauh darinya sehingga Rul bisa bebas.
“Oh ya bu, aku membawa menantu bagimu. Aku harap sekarang ibu dapat menerimanya. Aku juga bawa kelima cucu ibu bersamaku, tiga laki-laki dan dua orang perempuan. Semuanya lucu, ada yang mirip ibu juga, sebentar ya bu..” Rul pun memanggil istri dan anak-anaknya untuk mendekat. Setelah lama bercerita di depan batu nisan ibunya, Rul pun membaca doa dan surat Yasin untuk ibunya. Kemudian menaburkan bunga dan menyiram air. Tradisi jawa yang sudah melekat kuat.
Perjalanan pulang menaiki delman, jadi ramai karena lima orang anak. Ana tersenyum dalam hati. Betapa bahagia hidupnya saat ini. Ia berharap ini akan berlangsung sampai ia menjadi seorang nenek seperti mbok.
***
Rul berangkat berperang dengan tenang. Tak pernah merasa setenang ini sebelumnya. Anak-anaknya menangis, begitupun Ana. “Kau jangan menangis, anak-anak jadi ikut menangis sepertimu” Rul sambil menghapus air mata istri dan anak-anaknya secara bergantian. Rul salim kepada mbok dan pergi menjauh sambil membawa tas ransel yang penuh.
Dua minggu kemudian, berita sampai ke telinga Ana. Rul jatuh di medan perang. Gugur semuanya, air mata tiada henti. Pingsan lalu sadar, pingsan lalu sadar. Rul dimakamkan di dekat pesisir tempatnya berperang. Anaknya yang paling tua berusaha tegar, yang lain ditenangkannya. Urusan rumah makan sementara di alihkan ke orang kepercayaan. Aktifitas mereka berhenti dalam waktu lama. Ana seperti kehilangan nyawa, selalu melamun. Semuanya memang sudah ditandakan. Sebelum sowan ke rumah bapak, Ana sudah tau akan seperti ini akhirnya. Malam itu, mimpi seperti nyata baginya. Tak ada yang tau, Untunglah ada mbok yang menguatkan, anak-anak juga.
Setiap hari, Ana datang ke kuburan suaminya membawa bunga yang banyak. Walaupun ia harus berangkat pagi dan pulang siang hari tetap ia lakukan. Selalu ia lakukan. Lagi pula, dulu Rul dan Ana selalu ke pantai itu. Sangat tenang memang bisa melihat gradasi langit yang kontras dengan biru laut. Sering mereka berbincang-bincang disana. Setelah pulih, Ana sepenuhnya memegang kendali rumah makan. Ia harus bisa, pasti bisa.
Sejak saat itu, saat ada pesanan banyak, Ana selalu melihat bayangan Rul. Saat ia lelah dan tertidur, Rul selalu ada di dalam mimpinya. Pemilik pabrik sepatu yang baru buka mendekatinya, tapi Ana tak pernah memperdulikannya. Ia selalu merasakan Rul disisinya, karna Rul adalah nyata baginya. Tugasnya sekarang meneruskan semuanya dan mengurus anak-anaknya, alasan terbesar dalam hidupnya.
***
Cahaya matahari mulai redup, jingga dan violet. ombak menggulung-gulung, kebebasan alam berbahasa terlepas dari pelik semuanya. Batu karang besar dan dataran meninggi. Diatasnya, tenanglah segala urusan. Disanalah tempat istirahat paling cocok untuk semua yang sudah lelah. “Rul, bagaimana kabarmu saat ini? Rul Rul apa kau sudah bahagia? Saat bunga ini kujatuhkan, inilah kasihku padamu. Saat bunga ini kujatuhkan, kamu dapat membaca hatiku saat ini. Rul Rul terima kasih kau sudah datang kemarin. Rul 20 bulan 19 hari ini aku masih untukmu, tenanglah Rul aku tidak kemana-mana. Pohon beringin ini masih indah, daunnya masih bersemi dan batangnya masih kokoh. Kamu benar waktu itu, ku fikir pohon ini juga akan menjadi korban mereka. Namun dia masih bisa bertahan. Kamu menang, bunga ini yang paling bagus dan segar kata Nyai jadi aku berikan semuanya untukmu sebagai hadiah. Kau menyukainya? Besok aku akan membelikannya lagi untukmu. Aku menyayangimu lebih dari yang kau tau Rul, aku sangat bangga padamu. Ana, istrimu sangat bangga pada Rul” Suka cita Ana menceritakan satu persatu kisah-kisah yang dilaluinya kepada sebuah batu nisan yang sudah dikeramik.
“Ana, terima kasih kau telah menemani tiga belas tahun indah yang bermakna. Aku sadar tidaklah sempurna untukmu, tapi aku ingin menjadi terbaik, bertanggung jawab untukmu dan anak-anak. Pertama kali aku melihatmu, aku telah mengetahui tujuan Tuhan menitipkanku pada ibu selama tujuh belas tahun. Saat aku mengajakmu pergi, jujur sebenarnya aku takut dengan keputusanku sendiri. Aku takut tidak bisa melewatinya setelah ibu menutup pintu rumah. Namun aku menjadi kuat karnamu. Saat aku bekerja menjadi kuli, sebenarnya banyak preman yang menghajarku tapi tetap aku bekerja siang dan malam untukmu. Aku ingin membesarkan anak-anak kita yang lucu dan menghabiskan sisa waktu dengan tenang bersamamu.
Tidak berlebihan, namun fakta ini malah membuatku tidak bersyukur. Aku telah diberi waktu bersamamu itu harusnya sudah cukup. Aku malah meminta lebih. Aku telah diberi kamu, aku malah sempat berfikir menduakanmu. Aku telah mendapatkanmu, malah aku sempat menyesal karna itu aku mengorbankan ibuku. Aku meninggalkanmu sendiri, selalu seperti itu. Bahkan saat kamu sedang mengandung. Maafkan kebodohanku dindaa, maaf, bahkan jika maafku ini adalah yang terakhir. Aku ingin kau memaafkan semuanya, semua salahku sebagai imam untukmu. Fahruliyanto”


-SELESAI-



P.s. tulisan ini dibuat untuk tugas sekolah waktu magang, sampai lembur 2 minggu gak berhenti tapi endingnya guru bahasa malah gak percaya dan dikira hasil copas. Su'udzon banget jadi guru, awalnya sampe males banget nulis, rasanya sia-sia. tapi apapun yang terjadi sekali hobi tetaplah hobi.


Comments